Monday, March 19, 2012

Loyalitas Tanpa Batas

Saya memiliki seorang teman di sebuah fullday scholl. Sebut saja namanya adalah Pak Bowo. Sya memandang dia sebagai salah satu orang yang memiliki loyalitas tinggi kepada Yayasan tempat kami bekerja. Hampir setiap kegiatan yang diadakan sekolah pasti di akan mengikutinya. Setiap ada perintah dari atasan, Pak Bowo selalu sami’na wa atho’na, sendiko dawuh untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sekalipun tugas itu berada di luar tanggung jawabnya. Yang lebih istimewa lagi jarak rumah dengan sekolahnya berada kurang lebih 75 KM. Dia berangkat pagi jam setengah enam dengan menaiki sepeda motornya. Jam pulang sudah barang tentu sore, karena kami berada di fullday scholl. Istrinya seorang PNS di kantor kabupaten. Anaknya masih balita. Secara otomatis waktu untuk  anak dan keluarga akan terkurangi dengan jarak yang ditempuhnya tiap hari.
Dalam beberapa kesempatan saya tanya, “Nggak pingin nyari kerja deket rumah tho pak? disana kan juga banyak sekolah fullday school?”. Menanggapi hal itu ia hanya tersenyum saja. Beberapa teman sebenarnya merasa kasihan dengan dia. Selain rumahnya jauh dan berangkat pagi, angin ketikka berkendara di pagi hari mungkin kurang baik bagi tulang. Untuk saat ini memang belum terasa, tapi ketika sudah tua nanti mungkin akan ada masalah dengan persendiannya, paling ngggak itu pengalaman dari beberapa teman. Pernah suatu ketika sekolah kami mengadakan pengajian, saya masih ingat waktu itu pengajian selesai sekitar jam 11 malam. Pak Bowo tetap pulang ke rumahnya yang berjarak cukup jauh, walaupun sebenarnya ada beberapa teman yang menginap di sekolah.
Apa yang dilakukan oleh Pak Bowo mungkin merupakan sebuah loyalitas yang tinggi kepada sesuatu, dalam hal ini kepada sekolah [tempat ia bekerja]. Ia melakukan semua sesuai dengan perintah dan petunjuk dari atasan, walaupun mungkin itu tidak sesuai dengan yang ada dalam hatinya. Ia rela mengurangi waktu bermain bersama anak demi sekolahnya, demi mendidik anak orang lain. Satu hal yang memang ironis. Di satu sisi ia memiliki loyalitas yang tinggi kepada temapt kerja di sisi lain ia sedikit mengabaikan loyalitas kepada anak dan keluarganya.
Untuk guru-guru yang berada di fullday school mungkin mnegalami masalah yang sama dengan Pak Bowo. Dalam keseharian waktu yang tersita di sekolah lebih besar dibandingkan dengan waktu untuk keluarga. Dalam sebuah cerita ada seorang ayah yang mengatakan, “Nak, hari Minggu nanti kita akan pergi renang yach?” tentunya si anak akan menjawab dengan bahagia dan menanti datangnya hari Minggu. Di hari Jum’at [2 hari menjelang berenang]  datang undangan kepada sang ayah. Ternyata di hari Minggu nanti ada pertemuan sekolah yang harus di hadiri. Kira-kira mana yang lebih diutamakan sang ayah yang sudah berjanji hari minggu akan mengajak anaknya berenang atau mengahdiri pertemuan di sekolah?. Loyalitas memang terkadang harus memakan korban, tidak peduli itu kelaurga kita sendiri. Dalam hal ini mungkinkah kita berani menolak untuk menghadiri rapat dan mengatakan kita sudah punya janji dengan anak kita?. Paling tidak beranikah kita meminta ijin kepada kepala sekolah?. Walaupun, kemungkinan sangat kecil kita akan diijinkan untuk menepati janji kepada anak kita. Mungkin kita akan dianggap orang yang tidak loyal lagi dengan yayasan.
Beda lagi dengan yang Bu Wati alami, ketika ada keluarga [Pamannya] menikahkan anaknya. Ia tetap masuk sekolah demi loyalitas atau demi tugas?. Walaupun rumahnya cukup denkaat dengan pamanya. Bagaimana anda menyikapi hal tersebut? Silahkan anda menilai sendiri. 
                Terkadang loyalitas memang sangat diperlukan, namun dalam keadaan tertentu kita harus berani out the box dari aturan yang sudah ditetapkan. Pertimbangkan mana yang lebih utama loyalitas kita kepada keluarga atau kepada sekolah [tempat bekerja]?. LOYALITAS [tidak] TANPA BATAS. 

No comments:

Post a Comment

Hamzah bergaya dengan burung hantu