Wednesday, April 11, 2012

Hakim [pemutus keadilan] menuntut keadilan [naik gaji]…!!!



ojo turun anak putuku....!!!!



       Akhir-akhir ini lagi hangat di Indonesia berita tentang hakim yang mogok untuk meminta kenaikan gaji. Ironis memang, tapi memang itulah kenyataan yang terjadi di negara kita. Kenapa mereka pengin naik gaji? Mereka beralasan karena gaji mereka lebih rendah dari PNS. Ternyata sang pemutus keadilan menuntut keadilan, karena sudah sejak 2008 gaji mereka tidak dinaikkan oleh negara. Pantas mereka merengek, menggertak dan ngambek tidak mau bekerja karena gajinya tidak dinaika. Seperti anak kecil ajah…hehehe. Klaau anak kecil khan minta sesuatu dan tidak diperbolehkan atau diberikan ia akan ngambek dan nggak mau bicara [bekerja]. Sebenarnya berapa sich gaji hakim? gaji hakim tidak lah sesuai dengan tanggung jawabnya di dunia maupun akhirat.
            Mungkin hal ini yang memicu beberapa hakim yang tersandung dalam kasus suap untuk memuluskan orang yang berduit. Dengan dalih gaji mereka kecil ada yang berpendapat hal ini akan mempersulit pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagaimana mau memberantas korupsi kalau orang yang menentukan keadailan, benar dan salah saja seandainya juga korupsi gara-gara gajinya kecil?. Selain itu ada salah satu perwakilan hakim yang di wawancarai , mengatakan bagaimana bisa berwibawa jika hakim naiknya sepeda motor, sementara bawahananya naik mobil?. Selalu saja dilihat dari materi, sejak kapan sih kewibawaan seseorang dilihat dari materi? Dilihat dari ia ke kantor naik apa?. Setahu saya kewibawaan seseorang dilihat dari sikap, tutur kata dan perlakuannya kepad orang lain.
Dalam Islam kita perlu tahu firman Allah:
“ Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Alloh “ ( QS. Al-Maidah ayat 49 ). Apakah hakim kita sekarang sudah seperti ayat yang diturunkan Allah?. Ada lagi firman Allah dlam Surah An Nisaa ayat 58 yang artinya  “ Dan jika kamu menghukum antara manusia hendaklah kamu hukum dengan seadil-adilnya “. Di Jawa Tengah pun pernah terjadi hakim yang memvonis bebas 3 terpidana koruptor. Bagaiman pertanggung jawabannya kepada Masyarakat dan kepada Allah khususnya?. Inilah mengapa hakim memiliki tugas berat yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat.
Dalam Islam pengangkatan hakim tidaklah semudah di Indonesia. Karena hakim memiliki persyaratan yang harus di penuhi, diantaranya adalah;
Syarat pertama, laki-laki. Syarat ini menghimpunkan dua sifat sekaligus: pertama, baligh. Kedua, tidak wanita.[4]
Syarat ini menjadi syarat sah menurut Mazhab Maliki, Syafie, dan Hanbali, sekiranya dilantik perempuan menjadi hakim maka pelantikan itu tidak sah dan hukumanya tidak diluluskan karena jawatan hakim termasuk dalam Wilayah Am yang tidak layak diberi kepada perempuan karena sabda Rasulullah:
لن يفلح قوم ولوا أ مرهم ٳمرأة
Artinya: “Tiada berjaya kaum yang melantik perempuan menjadi wali urusan mereka”.
Dan orang-orang perempuan mempunyai fitrah (sifat semulajadi) yang tidak melayakkan mereka memegang jawatan Wilayah Am dan tidak dapat menjamin melaksanakan tugas dengan sempurna dan sopan menurut Islam.
Mazhab Hanafi pula berpendapat haram melantik wanita sebagai hakim tetapi hukumannya diluluskan. Dan terdapat juga dikalangan Mazhab ini mereka yang mengharuskan perempuan menjadi hakim dalam perkara yang tidak melibatkan jinayah dan hudud.[5]
Syarat kedua, mempunyai akal untuk mengetahui perintah, ia harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal dzaruri (perintah) untuk diketahui, hingga ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa. Dengan kecerdasannya, ia mampu menjelaskan apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusan-urusan yang pelik.
Syarat ketiga, merdeka, (tidak budak). Budak itu kekuasaan atas dirinya sendiri tidak sempurna, oleh karena itu ia tidak bisa berkuasa atas yang orang lain. Selain itu, kesaksian budak dalam kasus–kasus hukum tidak diterima, maka sangat logis kalau status budak juga menghalangi penerapan hukum olehnya dan pengangkatan dirinya sebagai hakim. Jika budak telah telah bebas, ia diperbolehlan untuk menjabat sebagai hakim, kendati perwalian dirinya berada ditangan pemiliknya, karena nasab tiddak termasuk kriteria dalam kekuasaan hukum.
Syarat keempat, Islam, karena Islam menjadi syarat diterimanya kesaksian, dan karena firman Allah SWT yang artinya: “ Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Orang kafir tidak boleh diangkat menjadi hakim untuk kaum muslimin, bahkan untuk orang-orang kafir
Abu Hanifah berkata: “Orang kafir boleh diangkat menjadi hakim untuk orang-orang kafir”
Inilah kendati pengangkatan orang kafir tersebut terjadi dalam tradisi penguasa, namun pengangkatannya adalah pengangkatan menjadi pejabat, dan bukan pengangkatan menjadi hakim.Imam boleh tidak menerima keputusan hakim tersebut. Jika orang-orang menolak membawa perkaranya kepada hakim kafir, mereka tidak boleh dipaksa membawa perkaranya kepadanya, karena hukum Islam lebih layak diterapkan terhadap mereka.
Syarat kelima, adil. Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur, bersih dari hal-hal yang diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta menggunakan sifat muruah (ksatria) dalam agamanya dan dunianya. Jika seseorangn memiliki syarat diatas, ia orang adil, kesaksiannya diterima dan kekuasaanya sah, jika syaratnya tidak lengkap, kesaksian tidak diterima dan kekuasaanya tidak sah. Untuk itu, ucapannya tidak perlu didengar, dan hukumnya tidak perlu diterapkan.
Syarat keenam, sehat pendengaran dan penglihatan, agar dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat, ia dapat membedakan antara pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran dengan kebatilan, dan mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.
Jika ia buta, kekuasaanya batal, namun Imam Malik membolehkannya sebagaimana ia mengesahkan kesaksiannya. Jika ia tuli, maka ada perbedaan pendapat di dalamnya seperti perbedaan pendapat tentang tuli dalam jabatan Imam (khalifah).
Sehat organ tubuh tidak termasuk syarat dalam jabatan hakim, kendati sehat organ tubuh menjadi syarat dalam jabatan Imam (khalifah).

[4] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,(Jakarta: Darul Falah, 2000) h. [5] Abdul Hadi Awang, Sistem Pemerintahan Negara Islam, (Terengganu: Percetakan Yayasan Islam Terengganu, 2003) h.171


-           

No comments:

Post a Comment

Hamzah bergaya dengan burung hantu