ojo turun anak putuku....!!!! |
Akhir-akhir
ini lagi hangat di Indonesia berita tentang hakim yang mogok untuk meminta
kenaikan gaji. Ironis memang, tapi memang itulah kenyataan yang terjadi di
negara kita. Kenapa mereka pengin naik gaji? Mereka beralasan karena gaji
mereka lebih rendah dari PNS. Ternyata sang pemutus keadilan menuntut keadilan, karena sudah sejak
2008 gaji mereka tidak dinaikkan oleh negara. Pantas mereka merengek, menggertak
dan ngambek tidak mau bekerja karena gajinya tidak dinaika. Seperti anak kecil
ajah…hehehe. Klaau anak kecil khan minta sesuatu dan tidak diperbolehkan atau
diberikan ia akan ngambek dan nggak mau bicara [bekerja]. Sebenarnya berapa
sich gaji hakim? gaji hakim
tidak lah sesuai dengan tanggung jawabnya di dunia maupun akhirat.
Mungkin hal ini
yang memicu beberapa hakim yang tersandung dalam kasus suap untuk memuluskan
orang yang berduit. Dengan dalih gaji mereka kecil ada yang berpendapat hal ini
akan mempersulit pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagaimana mau memberantas
korupsi kalau orang yang menentukan keadailan, benar dan salah saja seandainya
juga korupsi gara-gara gajinya kecil?. Selain itu ada salah satu perwakilan
hakim yang di wawancarai , mengatakan bagaimana bisa berwibawa jika hakim
naiknya sepeda motor, sementara bawahananya naik mobil?. Selalu saja dilihat
dari materi, sejak kapan sih kewibawaan seseorang dilihat dari materi? Dilihat dari
ia ke kantor naik apa?. Setahu saya kewibawaan seseorang dilihat dari sikap,
tutur kata dan perlakuannya kepad orang lain.
Dalam Islam kita perlu tahu
firman Allah:
“
Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan
Alloh “ ( QS. Al-Maidah ayat 49 ). Apakah hakim kita sekarang sudah seperti ayat yang
diturunkan Allah?. Ada lagi firman Allah dlam Surah An Nisaa ayat 58 yang
artinya “ Dan jika kamu menghukum antara manusia hendaklah kamu hukum
dengan seadil-adilnya “. Di Jawa Tengah pun pernah terjadi
hakim yang memvonis bebas 3 terpidana koruptor. Bagaiman pertanggung jawabannya
kepada Masyarakat dan kepada Allah khususnya?. Inilah mengapa hakim memiliki
tugas berat yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat.
Dalam Islam
pengangkatan hakim tidaklah semudah di Indonesia. Karena hakim memiliki
persyaratan yang harus di penuhi, diantaranya adalah;
Syarat
pertama, laki-laki.
Syarat ini menghimpunkan dua sifat sekaligus: pertama, baligh. Kedua, tidak
wanita.[4]
Syarat ini
menjadi syarat sah menurut Mazhab Maliki, Syafie, dan Hanbali, sekiranya
dilantik perempuan menjadi hakim maka pelantikan itu tidak sah dan hukumanya
tidak diluluskan karena jawatan hakim termasuk dalam Wilayah Am yang tidak
layak diberi kepada perempuan karena sabda Rasulullah:
لن يفلح قوم ولوا أ مرهم ٳمرأة
Artinya: “Tiada berjaya kaum yang melantik perempuan
menjadi wali urusan mereka”.
Dan orang-orang
perempuan mempunyai fitrah (sifat semulajadi) yang tidak melayakkan mereka
memegang jawatan Wilayah Am dan tidak dapat menjamin melaksanakan tugas dengan
sempurna dan sopan menurut Islam.
Mazhab Hanafi
pula berpendapat haram melantik wanita sebagai hakim tetapi hukumannya
diluluskan. Dan terdapat juga dikalangan Mazhab ini mereka yang mengharuskan
perempuan menjadi hakim dalam perkara yang tidak melibatkan jinayah dan hudud.[5]
Syarat
kedua, mempunyai
akal untuk mengetahui perintah, ia harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal dzaruri (perintah)
untuk diketahui, hingga ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar,
cerdas, dan jauh dari sifat lupa. Dengan kecerdasannya, ia mampu menjelaskan
apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusan-urusan yang pelik.
Syarat
ketiga, merdeka,
(tidak budak). Budak itu kekuasaan atas dirinya sendiri tidak sempurna, oleh
karena itu ia tidak bisa berkuasa atas yang orang lain. Selain itu, kesaksian
budak dalam kasus–kasus hukum tidak diterima, maka sangat logis kalau status
budak juga menghalangi penerapan hukum olehnya dan pengangkatan dirinya sebagai
hakim. Jika budak telah telah bebas, ia diperbolehlan untuk menjabat sebagai
hakim, kendati perwalian dirinya berada ditangan pemiliknya, karena nasab tiddak
termasuk kriteria dalam kekuasaan hukum.
Syarat
keempat, Islam, karena Islam menjadi syarat diterimanya
kesaksian, dan karena firman Allah SWT yang artinya:
“ Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Orang kafir tidak
boleh diangkat menjadi hakim untuk kaum muslimin, bahkan untuk orang-orang
kafir
Abu Hanifah
berkata: “Orang kafir boleh diangkat menjadi hakim untuk orang-orang kafir”
Inilah kendati
pengangkatan orang kafir tersebut terjadi dalam tradisi penguasa, namun
pengangkatannya adalah pengangkatan menjadi pejabat, dan bukan pengangkatan
menjadi hakim.Imam boleh tidak menerima keputusan hakim tersebut.
Jika orang-orang menolak membawa perkaranya kepada hakim kafir, mereka tidak
boleh dipaksa membawa perkaranya kepadanya, karena hukum Islam lebih layak
diterapkan terhadap mereka.
Syarat
kelima, adil.
Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur,
bersih dari hal-hal yang diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat
ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta menggunakan sifat muruah
(ksatria) dalam agamanya dan dunianya. Jika seseorangn memiliki syarat diatas,
ia orang adil, kesaksiannya diterima dan kekuasaanya sah, jika syaratnya tidak
lengkap, kesaksian tidak diterima dan kekuasaanya tidak sah. Untuk itu,
ucapannya tidak perlu didengar, dan hukumnya tidak perlu diterapkan.
Syarat
keenam, sehat pendengaran
dan penglihatan, agar dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat, ia dapat
membedakan antara pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak yang mengaku
dengan pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran dengan kebatilan, dan
mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.
Jika ia buta,
kekuasaanya batal, namun Imam Malik membolehkannya sebagaimana ia mengesahkan
kesaksiannya. Jika ia tuli, maka ada perbedaan pendapat di dalamnya seperti
perbedaan pendapat tentang tuli dalam jabatan Imam (khalifah).
Sehat organ tubuh
tidak termasuk syarat dalam jabatan hakim, kendati sehat organ tubuh menjadi
syarat dalam jabatan Imam (khalifah).
[4] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,(Jakarta: Darul Falah, 2000) h. [5] Abdul Hadi Awang, Sistem Pemerintahan Negara Islam, (Terengganu: Percetakan Yayasan Islam Terengganu, 2003) h.171
-
No comments:
Post a Comment